Kamis, 07 April 2011

Sudahkah PNPM MP Berhasil Dalam Pemberdayaan Masyarakat?

Kediri, Pasopati – Peraturan dan perundangan di era desentralisasi memperlihatkan komitmen politik pemerintah untuk menata kembali dan meningkatkan sistem, mekanisme, prosedur dan kualitas proses perencaan daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, demokratis dan pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Dalam peraturan dan perundangan baru, penyusunan rencana dikehendaki memadukan pendekatan teknokratis, demokratis, partisipasif, politis, botom up dan top down proses. Ini bermakna bahwa perencanaan daerah selain diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel konsisten dengan rencana lainnya yang relevan, juga adanya peran serta yang aktif dari masyarakat dalam perencanaan dan monitoring pelaksanaan pembangunan daerah.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat pada saat ini digadang gadang mampu melaksanakan beberapa program berbasis pemberdayaan masyarakat, hal tersebut dikarenakan mulai dari sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan program dan monitoring, (idealnya) selalu melibatkan masyarakat dimana program tersebut dilaksanakan, utamanya rumah tangga miskin (RTM).
Bahkan dalam pelaksanaan program PNPM Mandiri Perdesaan partisipasi rumah tangga miskin dan kaum perempuan mendapat tempat tersendiri, tidak tanggung-tanggung dua usulan kegiatanpun di usung dari kelompok tersebut. Yaitu Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan usulan yang terlahir dari musyawarah khusus perempuan (MKP), namun benarkah kedua kelompok tersebut sebagai penikmat utama hasil dari pelaksanaan program tersebut?
Kalau yang kita tanya adalah pelaku program tersebut maka jawabannya adalah “ya”, namun apabila yang kita tanya adalah para RTM maka jawabannya akan disesuaikan dengan suasana hati mereka, atau apapun jawabannya penulis tidak akan membahas hal tersebut.
Silahkan pembaca menanyakannya sendiri kepada masyarakat ataupun RTM  didaerah dimana program PNPM  Mandiri Perdesaan dilaksanakan karena pada saat ini sebagian besar kecamatan didaerah kabupaten Kediri dan sekitarnya sedang melaksanakan program tersebut.(isa)
 

PNPM MP Dan Masyarakat

Program ini dikabupaten Kediri dan sekitarnya telah digulirkan sejak tahun 2003, dengan nama Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program serupa yang diluncurkan pada waktu itu adalah P2KP (Program Pengembangan Kecamatan Perkotaan) dan Progam Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP), secara kontektual ketiga program tersebut memiliki kesamaan karena dilaksanakan untuk pemberdayaan rumah tangga miskin agar bisa terlepas dari himpitan kemiskinan.
Untuk program P2KP dan PPIP penulis akan mengupasnya pada lain kesempatan, sementara itu pada tahun-tahun pertama pelaksanaan PPK yang merupakan embrio dari PNPM Mandiri Perdesaan sebenarnya dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh program tersebut, mulai dari sosialisasi sampai pada tingkat pelaksanaan dan monitoring, kaum perempuan dan rumah tangga miskin mendapat porsi yang cukup baik. Namun memasuki tahun ketiga pelaksanaan program tersebut pemahaman masyarakat akan program tersebut perlahan namun pasti telah bergeser.
PNPM MP atau PPK (pada masa itu) tidak lagi dimaknai sebagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk pengentasan kemiskinan akan tetapi bergeser menjadi proyek secara berkesinambungan, salah satu indikator pergeseran tersebut adalah dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik sudah tidak lagi mengambil tenaga kerja lokal (terutama rumah tangga miskin) atau dari wilayah setempat, melainkan pekerjaan sudah diborong oleh pihak luar (bahkan oleh cv).
Klaupun ada tenaga kerja lokal itupun prosentasinya sangatlah kecil. Sehingga kaum miskin dan perempuan yang seharusnya menjadi subyek sekaligus obyek dari pelaksanaan program tersebut pada akhirnya justru banyak berperan sebagai saksi kegiatan saja. Walaupun ini tidak terjadi disetiap daerah, sinyal pemberdayaan masyarakat perlahan bergeser menjadi pemberdayaan pelaku.
Bahkan ironisnya saat ada sebagian kecil masyarakat yang mencoba mempertanyakan masalah prosedur pelaksanaan yang dianggap masyarakat tersebut sudah terlalu jauh keluar jalur tidak jarang mereka di cap sebagai penghalang program, baik oleh oknum elit desa, oknum pelaku, dan oknum-oknum lainnya.
Hal itu tentunya sangat bisa dimaklumi karena PNPM MP merupakan sumber dana percepatan pembangunan desa yang tidak sulit dalam proses pertanggung jawabannya, karena minim monitoring dan jauh dari sentuhan hukum. Bahkan boleh dibilang sanksipun sangatlah minim bila ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan program.

PNPM MP Dan Elit Desa

Hubungan antara pelaku program ini dan pemerintahan baik ditingkat kabupaten maupun desa seharusnya bersifat simbiosis mutualisme, yaitu hubungan timbal baik yang saling menguntungkan.
Artinya pelaku terbuka dan tranparans dalam membangun komunikasi dengan pemerintahan desa, begitupun pemerintahan desa idealnya segera mengingatkan apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan program, juga menjauhkan pelaksanaan program dari berbagai intervensi yang bisa membawa dampak negatif. Hal ini semata untuk  menjaga agar program tersebut tepat sasaran bukan hanya untuk mendukung kepentingan pribadi atau sekelompok orang saja.
Percaya atau tidak, penulis menyerahkan kepada pembaca, intrik politik ditingkat desa sudah mulai berlaku pada saat pemilihan pelaku ditingkat desa. Untuk sekedar mengetahui hal tersebut benar atau tidak silahkan saja para pembaca menghadiri acara Musyawarah Desa Sosialisasi (MD Sos) atau mungkin pada saat ini pemilihan pelaku dilaksanakan bersamaan dengan Musyawarah Desa Review RPJM Des karena adanya intregasi program tersebut dengan program pembangunan pemerintah daerah.
Dalam acara MD Sosialisasi ataupun MD-MD lainnya, seharusnya tidak ada istilah haram untuk hadir dalam acara musyawarah desa bagi masyarakat (baik diundang maupun tidak).
Penulis pernah mengetahui sendiri masih ada tokoh elit desa tertentu yang mempertanyakan kenapa masyarakat yang tidak diundang ikut hadir dalam acara tersebut  Bahkan terkesan alergi ketika tahu ada wartawan atau LSM ikut hadir dalam acara tersebut (maaf – mungkin pihak konsultan perlu memberi sosialisasi lagi kepada masyarakat ataupun para elit desa apa tujuan dari Musyawarah Desa dan siapa saja yang boleh hadir dalam acara tersebut baik yang bersifat partisipasi maupun monitoring sesuai dengan petunjuk tehnis operasional).
Apabila anda menghadiri acara MD Sos tersebut pada saat pemilihan pelaku dan anda jeli, maka akan terlihat betapa banyak sekali kelompok yang seakan peduli sekali dengan acara tersebut tentu saja dengan berbagai alasan yang tidak perlu dijelaskan. Namun sebaliknya, apabila pelaku yang terpilih dari kelompoknya, ketika dalam pelaksanaan program terjadi penyimpangan yang sedemikian jelas seakan tidak ada yang peduli, “masa bodohlah yang penting bagi-bagi rejeki, wong tidak ada sanksi apa-apa” kurang lebih kata semacam itulah yang terlontar.
Maka dalam hal ini peran lembaga-lembaga yang telah dibentuk oleh program tersebut ditingkat kecamatan sudah saatnya berperan lebih optimal lagi sesuai porsinya masing-masing. Bahkan kalau memungkinkan perlu adanya sanksi yang tegas terhadap oknum pelaku yang berbuat curang, jangan sampai lembaga tersebut melakukan pekerjaan hanya sekedar untuk normatif kegiatan saja.

Paguyuban Waranggono Mekarsari Luput Sentuhan

Kediri, Pasopati – Paguyuban Waranggono Mekar Sari Desa Banyuanyar Kecamatan Gurah kabupaten Kediri setelah hampir lima tahun tanpa ada sentuhan dari pemkab. Kediri akhirnya berani sambat, agar ke depan pihak Dinas Budaya dan Pariwisata kabupaten Kediri ikut memberikan pembinaan kepada para waranggono, baik yang tergabung dengan paguyuban Mekar Sari maupun yang di luar paguyuban tersebut.
Seperti yang di ungkapkan oleh sesepuh paguyuban Mekarsari Sastro Miharjo Gumun atau lebih akrab dipanggil Mbah Gumun Sabtu (19/3). Mbah Gumun memaparkan sepeninggal Bu Jum (ketua paguyuban 4 tahun lalu) praktis kegiatan para waranggono seakan bak anak ayam yang kehilangan induknya, “Jadi berjalan sendiri-sendiri, bahkan bisa dibilang mereka tidak pernah latihan, apalagi setelah perangkat gamelannya tidak ada karena di ambil orang praktis berbagai kegiatan terhenti” jelasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Paguyuban Waranggono Mekarsari Katijo melalui Andik Suciati dan Ramiati waranggono yang tergabung dalam paguyuban Mekarsari. Andik dan Ramiati mengharap kepada Pemkab Kediri agar sudi memberikan pembinaan kepada para waranggono.
Menurut mereka upaya pembinaan tersebut dapat berupa saja yang penting apa yang mereka lakukan dihargai sebagai karya seni dan eksistensi mereka mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten Kediri.
Kedua waranggono tersebut juga berharap Dinas Budaya dan Pariwisata kabupaten Kediri juga memberikan arahan yang pasti tentang formasi tarian antara waranggono dengan para audien khas Kediri,
“Kalau Malang, Tulungagung dan Bojonegoro sudah punya ke khas_an tersendiri formasi tarian mereka, tapi daerah Kediri ini saya juga bingung karena di Kediri formasi tarianya tidak ada pakemnya, jadi formasi tarianya berubah-ubah” jelas Andik.
Ramiati juga menuturkan dalam beberapa tahun ini intensitas latihan mereka bisa dibilang tidak ada sama sekali karena paguyuban mereka tidak punya perangkat gamelan, “Dulu kami dapat bantuan gamelan dari kabupaten tapi kemudian diambil oleh seseorang dan tidak dikembalikan, ya akhirnya kita belajar dari kaset saja. Maka kami berharap pihak kabupaten sudi memberi bantuan perangkat gamelan untuk mendukung eksistensi kami”, ungkap Ramiati.  (isa)
Berita Terkait

Tayub Sebagai Budaya Dan Konotasi Erotis

Kediri, Pasopati – Kehadiran erotisme dalam kesenian modern kita seperti dangdut, berakar dari goyang serupa dalam tari-tarian pergaulan tradisional. Dalam catatan Hilarius yang dikutip Instisari pada pertengahan tahun 2003-an, setidaknya ada tiga sumber tari pergaulan Jawa Tayub atau Ledhek atau Lenggeg di Banyumas, Ronggeng Gunung di Garut dan Sumedang yang sering disebut Sunda halus serta Ketuk Tilu diantara Subang sampai Cikampek atau yang sering disebut Sunda kasar.
Dibandingkan dengan dua lainnya, tayub mempunyai masa paling banyak. Penyebarannya hampir meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua wilayah ini memang memiliki kesamaan budaya.
Saat mendekat ke Istana Mataram, tarian itu mengalami penghalusan menjadi Gambyong. Evolusinya ke timur hingga Banyuwangi menjadikanya Gandrung. Sedang ronggeng gunung dan ketuk tilu, hingga kini masih bertahan dengan bentuk aslinya didaerah masing-masing.
Meski ada juga yang mengalami perubahan nama karena penggolongan bunyi, seperti menjadi kleningan didaerah sekitar Majalengka hingga Indramayu, Jawa Barat. Perpaduan keduanya dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk Jaipong, karya seniman tari Gugum Gumbira.
Di Sumatera tepatnya dipulau Bintan, menurut Hilarius berkembang juga Joget Jangkung dan Makyong. Sementara di Bali seperti di tulis Putu Setia dalam sebuah situs Berkembang joget yang juga mengarah pada sisi erotisme.
Sebuah tarian pergaulan yang di iringi genjek, “musik pengiring”  Berupa nyanyian dengan pantun-pantun yang nakal. Iringan genjek bermusik lewat mulut, keplok tangan dan iringan gamelan seadanya sehingga mudah berimprovasi, tulis Putu.
Kedekatan antara tari-tarian pergaulan di Jawa dengan erotisme dan akhirnya aktivitas seksual, tak lepas dari ritual-ritual masa lalu berupa permohonan akan kesuburan. Daerah-daerah  pengembangan tari itu memang didominasi budaya agraris.
Kekuatan yang menggerakan daya-daya gaib itu, antara lain dipercaya akan didapat dari tindakan magis simpatitis, yaitu perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan dalam hubungan antara pria dan wanita.
Dalam ritual, pengungkapannya sering dimanifestasikan dengan gerakan organ reproduksi. Yaitu gerakan-gerakan yang terpusat pada perut, pinggang, pinggul dan paha. “Begitu juga dengan tarian-tarian daerah lain yang memusatkan gerakan dibagian-bagian tubuh ini, semua di maksudkan mewakili unsur reproduksi yang di asumsikan dengan kesuburan” ungkap Hilarius
Saat pementasan, para penari tayub tampil dengan aksi-aksi menggoda, seperti tatarias menor, aroma wewangian, kain sebatas dada (dodot basahan), gerakan erotis serta ajakan kepada penonton untuk menari. Tapi pada dasarnya mereka melakukannya dengan tidak bercanda. Semua dilakukan dengan serius untuk ritual.
Penjelasan makna tayub sebagai ritual sakral, yang mungkin sulit diterima oleh rasio manusia modern. Dalam sebuah laman situs, tayub digambarkan sebagai upaya bagi golongan penganut agama Ciwa (aliran Cakta) dalam meniadakan diri guna mencapai “moksa” dan mempersatukan diri dengan Tuhan. Atau dalam terminologi Jawa, dikenal sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.
Dalam keyakinan mereka, melakukan sesuatu yang dilarang bagi manusia biasa, merupakan ritual suci. Karena pada prinsipnya, tidak ada yang terlarang bagi orang suci. Bahkan menjalankan larangan secara berlebihan, dipercaya mendatangkan kemampuan gaib.
Yang terlarang bagi orang biasa mencakup Ma lima yaitu mamsa (daging), matsya (ikan), madya (alkohol), maithuna (persetubuhan) dan mudra (sikap tangan). Dalam perjalanannya, tayub selalu berkaitan erat dengan dua dari ma lima yaitu madya, yang selalu hadir dalam pagelaran tayub serta ditingkahi unsur maithuna didalamnya. Namun sayangnya, lagi-lagi dua hal itu dihayati hanya sebagai kepuasan sesaat.
Tidak jelas kapan terjadinya pergeseran dari tayub sebagai ritual menjadi sekedar hiburan  yang menonjolkan erotisme. Setidaknya dalam History of Java (1817), Thomas Stamford Raffles mencatat stigma terhadap ledhek atau ronggeng.
Pelaku profesi itu digambarkan berperilaku kurang terhormat, bahkan selalu diasosiasikan dengan pelacur. Hilarious menduga, pergeseran kian parah setelah tayub kerap dijadikan pertunjukan pada “kunjungan dinas” penguasa kerajaan dimasa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan ke-20.
Telah terjadi pergeseran atau tidak, sosiolog dari Universitas Indonesia era 2003an, Tamrin Amal Tomagola, melihatnya hal itu sebagai bentuk kelonggaran akan seksualitas pada budaya Timur pada saat itu justru melebihi budaya Negara-negara Barat.
Dengan masuk dan meluasnya pengaruh kaum agamis (Islam dan Kristen) hingga kekalangan bawah, barulah terjadi upaya pengendalian segala sesuatu yang liar (menurut definisi peradaban - red). Bentuknya antara lain melalui pelarangan-pelarangan, mirip seperti yang akhirnya dialami Inul beberapa tahun yang lalu.
Dangdut, tayub, maupun bentuk kesenian lokal lain dibanyak tempat, akan terus tampil dalam erotikanya. Selanjutnya …...penilaian terserah Anda.   (isa) 

Warta Pasopati News Sebelumnya

  © PASOPATI Online ...Berita Informatif.Dan . Akuntabel

Ke : HALAMAN UTAMA