Program ini dikabupaten Kediri dan sekitarnya telah digulirkan sejak tahun 2003, dengan nama Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program serupa yang diluncurkan pada waktu itu adalah P2KP (Program Pengembangan Kecamatan Perkotaan) dan Progam Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP), secara kontektual ketiga program tersebut memiliki kesamaan karena dilaksanakan untuk pemberdayaan rumah tangga miskin agar bisa terlepas dari himpitan kemiskinan.
Untuk program P2KP dan PPIP penulis akan mengupasnya pada lain kesempatan, sementara itu pada tahun-tahun pertama pelaksanaan PPK yang merupakan embrio dari PNPM Mandiri Perdesaan sebenarnya dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh program tersebut, mulai dari sosialisasi sampai pada tingkat pelaksanaan dan monitoring, kaum perempuan dan rumah tangga miskin mendapat porsi yang cukup baik. Namun memasuki tahun ketiga pelaksanaan program tersebut pemahaman masyarakat akan program tersebut perlahan namun pasti telah bergeser.
PNPM MP atau PPK (pada masa itu) tidak lagi dimaknai sebagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk pengentasan kemiskinan akan tetapi bergeser menjadi proyek secara berkesinambungan, salah satu indikator pergeseran tersebut adalah dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik sudah tidak lagi mengambil tenaga kerja lokal (terutama rumah tangga miskin) atau dari wilayah setempat, melainkan pekerjaan sudah diborong oleh pihak luar (bahkan oleh cv).
Klaupun ada tenaga kerja lokal itupun prosentasinya sangatlah kecil. Sehingga kaum miskin dan perempuan yang seharusnya menjadi subyek sekaligus obyek dari pelaksanaan program tersebut pada akhirnya justru banyak berperan sebagai saksi kegiatan saja. Walaupun ini tidak terjadi disetiap daerah, sinyal pemberdayaan masyarakat perlahan bergeser menjadi pemberdayaan pelaku.
Bahkan ironisnya saat ada sebagian kecil masyarakat yang mencoba mempertanyakan masalah prosedur pelaksanaan yang dianggap masyarakat tersebut sudah terlalu jauh keluar jalur tidak jarang mereka di cap sebagai penghalang program, baik oleh oknum elit desa, oknum pelaku, dan oknum-oknum lainnya.
Hal itu tentunya sangat bisa dimaklumi karena PNPM MP merupakan sumber dana percepatan pembangunan desa yang tidak sulit dalam proses pertanggung jawabannya, karena minim monitoring dan jauh dari sentuhan hukum. Bahkan boleh dibilang sanksipun sangatlah minim bila ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan program.
Untuk program P2KP dan PPIP penulis akan mengupasnya pada lain kesempatan, sementara itu pada tahun-tahun pertama pelaksanaan PPK yang merupakan embrio dari PNPM Mandiri Perdesaan sebenarnya dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh program tersebut, mulai dari sosialisasi sampai pada tingkat pelaksanaan dan monitoring, kaum perempuan dan rumah tangga miskin mendapat porsi yang cukup baik. Namun memasuki tahun ketiga pelaksanaan program tersebut pemahaman masyarakat akan program tersebut perlahan namun pasti telah bergeser.
PNPM MP atau PPK (pada masa itu) tidak lagi dimaknai sebagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk pengentasan kemiskinan akan tetapi bergeser menjadi proyek secara berkesinambungan, salah satu indikator pergeseran tersebut adalah dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik sudah tidak lagi mengambil tenaga kerja lokal (terutama rumah tangga miskin) atau dari wilayah setempat, melainkan pekerjaan sudah diborong oleh pihak luar (bahkan oleh cv).
Klaupun ada tenaga kerja lokal itupun prosentasinya sangatlah kecil. Sehingga kaum miskin dan perempuan yang seharusnya menjadi subyek sekaligus obyek dari pelaksanaan program tersebut pada akhirnya justru banyak berperan sebagai saksi kegiatan saja. Walaupun ini tidak terjadi disetiap daerah, sinyal pemberdayaan masyarakat perlahan bergeser menjadi pemberdayaan pelaku.
Bahkan ironisnya saat ada sebagian kecil masyarakat yang mencoba mempertanyakan masalah prosedur pelaksanaan yang dianggap masyarakat tersebut sudah terlalu jauh keluar jalur tidak jarang mereka di cap sebagai penghalang program, baik oleh oknum elit desa, oknum pelaku, dan oknum-oknum lainnya.
Hal itu tentunya sangat bisa dimaklumi karena PNPM MP merupakan sumber dana percepatan pembangunan desa yang tidak sulit dalam proses pertanggung jawabannya, karena minim monitoring dan jauh dari sentuhan hukum. Bahkan boleh dibilang sanksipun sangatlah minim bila ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan program.