Kediri, Pasopati – Kehadiran erotisme dalam kesenian modern kita seperti dangdut, berakar dari goyang serupa dalam tari-tarian pergaulan tradisional. Dalam catatan Hilarius yang dikutip Instisari pada pertengahan tahun 2003-an, setidaknya ada tiga sumber tari pergaulan Jawa Tayub atau Ledhek atau Lenggeg di Banyumas, Ronggeng Gunung di Garut dan Sumedang yang sering disebut Sunda halus serta Ketuk Tilu diantara Subang sampai Cikampek atau yang sering disebut Sunda kasar.
Dibandingkan dengan dua lainnya, tayub mempunyai masa paling banyak. Penyebarannya hampir meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua wilayah ini memang memiliki kesamaan budaya.
Saat mendekat ke Istana Mataram, tarian itu mengalami penghalusan menjadi Gambyong. Evolusinya ke timur hingga Banyuwangi menjadikanya Gandrung. Sedang ronggeng gunung dan ketuk tilu, hingga kini masih bertahan dengan bentuk aslinya didaerah masing-masing.
Meski ada juga yang mengalami perubahan nama karena penggolongan bunyi, seperti menjadi kleningan didaerah sekitar Majalengka hingga Indramayu, Jawa Barat. Perpaduan keduanya dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk Jaipong, karya seniman tari Gugum Gumbira.
Di Sumatera tepatnya dipulau Bintan, menurut Hilarius berkembang juga Joget Jangkung dan Makyong. Sementara di Bali seperti di tulis Putu Setia dalam sebuah situs Berkembang joget yang juga mengarah pada sisi erotisme.
Sebuah tarian pergaulan yang di iringi genjek, “musik pengiring” Berupa nyanyian dengan pantun-pantun yang nakal. Iringan genjek bermusik lewat mulut, keplok tangan dan iringan gamelan seadanya sehingga mudah berimprovasi, tulis Putu.
Kedekatan antara tari-tarian pergaulan di Jawa dengan erotisme dan akhirnya aktivitas seksual, tak lepas dari ritual-ritual masa lalu berupa permohonan akan kesuburan. Daerah-daerah pengembangan tari itu memang didominasi budaya agraris.
Kekuatan yang menggerakan daya-daya gaib itu, antara lain dipercaya akan didapat dari tindakan magis simpatitis, yaitu perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan dalam hubungan antara pria dan wanita.
Dalam ritual, pengungkapannya sering dimanifestasikan dengan gerakan organ reproduksi. Yaitu gerakan-gerakan yang terpusat pada perut, pinggang, pinggul dan paha. “Begitu juga dengan tarian-tarian daerah lain yang memusatkan gerakan dibagian-bagian tubuh ini, semua di maksudkan mewakili unsur reproduksi yang di asumsikan dengan kesuburan” ungkap Hilarius
Saat pementasan, para penari tayub tampil dengan aksi-aksi menggoda, seperti tatarias menor, aroma wewangian, kain sebatas dada (dodot basahan), gerakan erotis serta ajakan kepada penonton untuk menari. Tapi pada dasarnya mereka melakukannya dengan tidak bercanda. Semua dilakukan dengan serius untuk ritual.
Penjelasan makna tayub sebagai ritual sakral, yang mungkin sulit diterima oleh rasio manusia modern. Dalam sebuah laman situs, tayub digambarkan sebagai upaya bagi golongan penganut agama Ciwa (aliran Cakta) dalam meniadakan diri guna mencapai “moksa” dan mempersatukan diri dengan Tuhan. Atau dalam terminologi Jawa, dikenal sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.
Dalam keyakinan mereka, melakukan sesuatu yang dilarang bagi manusia biasa, merupakan ritual suci. Karena pada prinsipnya, tidak ada yang terlarang bagi orang suci. Bahkan menjalankan larangan secara berlebihan, dipercaya mendatangkan kemampuan gaib.
Yang terlarang bagi orang biasa mencakup Ma lima yaitu mamsa (daging), matsya (ikan), madya (alkohol), maithuna (persetubuhan) dan mudra (sikap tangan). Dalam perjalanannya, tayub selalu berkaitan erat dengan dua dari ma lima yaitu madya, yang selalu hadir dalam pagelaran tayub serta ditingkahi unsur maithuna didalamnya. Namun sayangnya, lagi-lagi dua hal itu dihayati hanya sebagai kepuasan sesaat.
Tidak jelas kapan terjadinya pergeseran dari tayub sebagai ritual menjadi sekedar hiburan yang menonjolkan erotisme. Setidaknya dalam History of Java (1817), Thomas Stamford Raffles mencatat stigma terhadap ledhek atau ronggeng.
Pelaku profesi itu digambarkan berperilaku kurang terhormat, bahkan selalu diasosiasikan dengan pelacur. Hilarious menduga, pergeseran kian parah setelah tayub kerap dijadikan pertunjukan pada “kunjungan dinas” penguasa kerajaan dimasa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan ke-20.
Telah terjadi pergeseran atau tidak, sosiolog dari Universitas Indonesia era 2003an, Tamrin Amal Tomagola, melihatnya hal itu sebagai bentuk kelonggaran akan seksualitas pada budaya Timur pada saat itu justru melebihi budaya Negara-negara Barat.
Dengan masuk dan meluasnya pengaruh kaum agamis (Islam dan Kristen) hingga kekalangan bawah, barulah terjadi upaya pengendalian segala sesuatu yang liar (menurut definisi peradaban - red). Bentuknya antara lain melalui pelarangan-pelarangan, mirip seperti yang akhirnya dialami Inul beberapa tahun yang lalu.
Dangdut, tayub, maupun bentuk kesenian lokal lain dibanyak tempat, akan terus tampil dalam erotikanya. Selanjutnya …...penilaian terserah Anda. (isa)
Dibandingkan dengan dua lainnya, tayub mempunyai masa paling banyak. Penyebarannya hampir meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua wilayah ini memang memiliki kesamaan budaya.
Saat mendekat ke Istana Mataram, tarian itu mengalami penghalusan menjadi Gambyong. Evolusinya ke timur hingga Banyuwangi menjadikanya Gandrung. Sedang ronggeng gunung dan ketuk tilu, hingga kini masih bertahan dengan bentuk aslinya didaerah masing-masing.
Meski ada juga yang mengalami perubahan nama karena penggolongan bunyi, seperti menjadi kleningan didaerah sekitar Majalengka hingga Indramayu, Jawa Barat. Perpaduan keduanya dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk Jaipong, karya seniman tari Gugum Gumbira.
Di Sumatera tepatnya dipulau Bintan, menurut Hilarius berkembang juga Joget Jangkung dan Makyong. Sementara di Bali seperti di tulis Putu Setia dalam sebuah situs Berkembang joget yang juga mengarah pada sisi erotisme.
Sebuah tarian pergaulan yang di iringi genjek, “musik pengiring” Berupa nyanyian dengan pantun-pantun yang nakal. Iringan genjek bermusik lewat mulut, keplok tangan dan iringan gamelan seadanya sehingga mudah berimprovasi, tulis Putu.
Kedekatan antara tari-tarian pergaulan di Jawa dengan erotisme dan akhirnya aktivitas seksual, tak lepas dari ritual-ritual masa lalu berupa permohonan akan kesuburan. Daerah-daerah pengembangan tari itu memang didominasi budaya agraris.
Kekuatan yang menggerakan daya-daya gaib itu, antara lain dipercaya akan didapat dari tindakan magis simpatitis, yaitu perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan dalam hubungan antara pria dan wanita.
Dalam ritual, pengungkapannya sering dimanifestasikan dengan gerakan organ reproduksi. Yaitu gerakan-gerakan yang terpusat pada perut, pinggang, pinggul dan paha. “Begitu juga dengan tarian-tarian daerah lain yang memusatkan gerakan dibagian-bagian tubuh ini, semua di maksudkan mewakili unsur reproduksi yang di asumsikan dengan kesuburan” ungkap Hilarius
Saat pementasan, para penari tayub tampil dengan aksi-aksi menggoda, seperti tatarias menor, aroma wewangian, kain sebatas dada (dodot basahan), gerakan erotis serta ajakan kepada penonton untuk menari. Tapi pada dasarnya mereka melakukannya dengan tidak bercanda. Semua dilakukan dengan serius untuk ritual.
Penjelasan makna tayub sebagai ritual sakral, yang mungkin sulit diterima oleh rasio manusia modern. Dalam sebuah laman situs, tayub digambarkan sebagai upaya bagi golongan penganut agama Ciwa (aliran Cakta) dalam meniadakan diri guna mencapai “moksa” dan mempersatukan diri dengan Tuhan. Atau dalam terminologi Jawa, dikenal sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.
Dalam keyakinan mereka, melakukan sesuatu yang dilarang bagi manusia biasa, merupakan ritual suci. Karena pada prinsipnya, tidak ada yang terlarang bagi orang suci. Bahkan menjalankan larangan secara berlebihan, dipercaya mendatangkan kemampuan gaib.
Yang terlarang bagi orang biasa mencakup Ma lima yaitu mamsa (daging), matsya (ikan), madya (alkohol), maithuna (persetubuhan) dan mudra (sikap tangan). Dalam perjalanannya, tayub selalu berkaitan erat dengan dua dari ma lima yaitu madya, yang selalu hadir dalam pagelaran tayub serta ditingkahi unsur maithuna didalamnya. Namun sayangnya, lagi-lagi dua hal itu dihayati hanya sebagai kepuasan sesaat.
Tidak jelas kapan terjadinya pergeseran dari tayub sebagai ritual menjadi sekedar hiburan yang menonjolkan erotisme. Setidaknya dalam History of Java (1817), Thomas Stamford Raffles mencatat stigma terhadap ledhek atau ronggeng.
Pelaku profesi itu digambarkan berperilaku kurang terhormat, bahkan selalu diasosiasikan dengan pelacur. Hilarious menduga, pergeseran kian parah setelah tayub kerap dijadikan pertunjukan pada “kunjungan dinas” penguasa kerajaan dimasa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan ke-20.
Telah terjadi pergeseran atau tidak, sosiolog dari Universitas Indonesia era 2003an, Tamrin Amal Tomagola, melihatnya hal itu sebagai bentuk kelonggaran akan seksualitas pada budaya Timur pada saat itu justru melebihi budaya Negara-negara Barat.
Dengan masuk dan meluasnya pengaruh kaum agamis (Islam dan Kristen) hingga kekalangan bawah, barulah terjadi upaya pengendalian segala sesuatu yang liar (menurut definisi peradaban - red). Bentuknya antara lain melalui pelarangan-pelarangan, mirip seperti yang akhirnya dialami Inul beberapa tahun yang lalu.
Dangdut, tayub, maupun bentuk kesenian lokal lain dibanyak tempat, akan terus tampil dalam erotikanya. Selanjutnya …...penilaian terserah Anda. (isa)